ISLAM DAN TASAWUF
Pengertian dan Tujuan Tasawuf
P
|
engertian
tasawuf yang di dalam bahasa asing disebut mystic atau sufism, berasal
dari kata suf yakni wol kasar yang dipakai oleh seorang muslim
yang berusaha dengan berbagai upaya yang telah ditentukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Orang yang melakukan upaya demikian disebut sufi dan ilmu yang
menjelaskan upaya-upaya serta tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh untuk
mencapai tujuan dimaksud dinamakan ilmu tasawuf.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani
manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin
menyelami makna syari’ah secara lebih mendalam dalam rangka menemukan hakekat
agama dan ajaran agama Islam. Bagi kaum sufi yang mementingkan syari’ah dan
hakikat sekaligus, shalat misalnya, tidaklah hanya sekedar pengucapan sejumlah
kata dalam gerakan tertentu, tetapi merupakan dialog spiritual antara manusia dengan
Tuhan.
Ada 5 (lima)
aliran tasawuf, yakni:
1. Qadiriyah, aliran
ini memuliakan pendirinya Abdul Qadir al- Jailani (116 M). Menurut para
pengikutnya, Abdul Qadir al-Jailani adalah orang suci. Kini yang menjadi
pemimpin tarikat Qadiriyah adalah juru kunci kuburan Abdul Qadir
al-Jailani di Baghdad. Aliran ini berpengaruh di Afrika Utara, Asia Kecil,
Pakistan, India, Malaysia dan Indonesia.
2. Rifa’iyah, aliran
ini didirikan oleh Muhammad ar-Rifa’i (1183 M). Tarikat Rifa’i terkenal dengan
amalannya berupa penyiksaan diri dengan melukai bagian-bagian badan dengan
senjata tajam diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu.
3. Sammaniyah, aliran
ini didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman. Riwayat hidup pendiri tarekat ini
sangat terkenal dahuli di Jakarta. Cara mencapai tujuan akhir diantaranya
adalah berdzikir dengan suara lantang.
4. Syattariyah, aliran
ini didirikan oleh Abdullah as-Syattari (1417 M). Aliran ini percaya pada
ajaran kejawen mengenai tujuh tingkat keadaan Allah SWT. yang disebut dalam
ilmu hakikat. Nabi Muhammad SAW. dilambangkan oleh aliran ini sebagai manusia
sempurna (insan kamil) yang memantulkan kekuatan Illahi seperti cermin
memantulkan cahaya. Pada aliran ini juga terdapat kepercayaan bahwa semua
manusia mempunyai bakat untuk menjadi manusia sempurna dan harus berusaha untuk
mencapai kesempurnaan itu. Dalam hubungan ini terdapat pandangan tentang
hubungan manusia dengan Allah SWT. seperti seorang pelayan dengan majikannya.
5. Naqsyabandiyah, aliran
ini didirikan oleh Muhammad an- Naqsyabandi (1388 M). Aliran ini
menyelenggarakan dzikir tertutup atau dzikir diam yakni menyebut nama Allah
SWT. dengan berdiam diri.
Sumber hukum
Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua sumber agama Islam itu penuh dengan
nilai dan norma yang menjadi ukuran sikap dan perbuatan manusia apakah baik
atau buruk, benar atau salah. Isi Al-Qur’an dan Al-Hadits penuh dengan akhlak
Islami yang perlu diteladani dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari setiap muslim dan muslimat. Islam sebagai agama dan ajaran
mempunyai sistem sendiri yang bagian-bagiannya saling bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan. Intinya adalah tauhid, yang berkembang melalui aqidah,
dari aqidah mengalir syari’ah dan akhlak Islam.
Pandangan
Ummat Islam Terhadap Tasawuf
Mengenai
asal-usul perkataan tasawuf para ahli berbeda pendapat. Di antara pendapat yang
banyak itu, ada satu pendapat yang sering ditulis dalam buku-buku mengenai
tasawuf di Indonesia. Pendapat itu mengatakan tasawuf berasal dari kata suf
artinya bulu domba kasar. Disebut demikian karena orang-orang yang memakai
pakaian itu disebut orang-orang sufi atau mutasawwif, hidup dalam kemiskinan dan
kesederhanaan. Mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai
lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian yang terbuat
dari sutera yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Banyak juga definisi yang
diberikan untuk merumuskan makna yang dikandung oleh perkataan tasawuf.
Menurut
at-Taftazani, tasawuf mempunyai 5 (lima) ciri, yaitu :
1. Memiliki nilai-nilai moral.
2. Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam
realitas mutlak.
3. Pengetahuan intuitif (berdasarkan
bisikan hati) langsung.
4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai
karunia Allah SWT. dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (beberapa
tingkatan perhentian) dalam perjalanan sufi menuju (mendekati) Tuhan.
5. Penggunaan lambang-lambang pengungkapan
(perasaan) yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.
(Ensiklopedi
Islam, 1933: 73 – 75)
Tasawuf juga
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dapat dilihat ayat-ayat dan hadits-hadits
yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Allah SWT.
Diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.
QS. Al-Baqarah ayat 115
artinya :
“Dan
kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
2.
QS. Qaf ayat 16 artinya :
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.
3.
Hadits Riwayat Imam
Bukhari, artinya :
“Barang
siapa memusuhi seseorang wali-Ku (wali Allah SWT. adalah orang yang dekat
dengan-Nya), maka aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu
yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai dari pengalaman segala
yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri
kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa
mencintainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, Akulah pendengarnya dengan ia
mendengar, Aku penglihatannya dengannya ia melihat, Aku tangannya dengannya ia
memukul, dan Aku kakinya dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku,Aku
perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, Kulindungi ia”.
Sejak muncul
paham widhatul wujud, tasawuf pecah menjadi dua aliran, yaitu aliran
pertama, aliran tasawuf yang didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan
aliran yang kedua, aliran fana yang disebut sebagai tasawuf falsafi, disebut
demikian karena teori-teori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur
filsafat (Ensiklopedi Islam, 1992: 76 -77, 158 – 160).
Stasiun-Stasiun
dalam Tasawuf untuk Mengakrabkan Diri dengan Allah SWT.
Ada empat
macam tahapan yang harus dilalui oleh seorang hamba yang menekuni ajaran
tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebut sebagai “As-Sa’adah” menurut Imam Al-Ghazali
dan “Insanul Kamil” menurut
Muhyiddin bin ‘Arabiy, diantaranya sebagai berikut :
1. Syari’at, adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT.
kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumber nash
Al-Qur’an maupun Al-Hadits atau dengan cara istimbat yaitu hukum-hukum yang
telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf. Isi syari’at mencakup
segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah-perintah itu
disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuatan yang hukumnya
wajib atau fardhu,sunnah,mubah atau membolehkan. Sedangkan larangan-larangan
dari Allah SWT. disebut dengan munkar yang meliputi perbuatan yang
hukumnya haram dan makruh. Baik yang ma’ruf maupun munkar sudah ada petunjuknya
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2. Tarekat,
adalah pengamalan
syari’at, melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan dari sikap
mempermudah ibadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah (diremehkan).
Kata tarekat dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi amaliah ibadah dan
dari sisi organisasi (perkumpulan). Sisi amaliah ibadah merupakan latihan
kejiwaan, baik yang dilakukan oleh seorang atau secara bersama-sama, dengan
melalui dan mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkatan kerohanian yang
disebut maqamat atau al-ahwal, yang mana latihan ini diadakan
secara berkala yang juga dikenal dengan istilah suluk. Sedangkan dari
sisi organisasi maka tarekat berarti sekumpulan salik (orang yang
melakukan suluk) yang sedang menjalani latihan kerohanian tertentu yang
bertujuan untuk mencapai tingkat atau maqam tertentu yang dibimbing dan
dituntun oleh seorang guru yang disebut mursyid.
Adapun
tingkatan maqam tarekat tersebut antara lain menurut Abu Nashr As-Sarraj adalah
sebagai berilut :
a.
Tingkatan
Taubah
b.
Tingkatan
Wara’
c.
Tingkatan
Az-Zuhd
d.
Tingkatan
Al-Faqru
e.
Tingkatan
Al-Shabru
f.
Tingkatan
At-Tawakkal
g.
Tingkatan
Ar-Ridha
3. Hakikat,
adalah suasana
kejiwaan seorang salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan tertentu sehingga
ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Hakikat yang
didapatkan oleh seorang sufi setelah lama menempuh tarekat dengan melakukan
suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dialami dan dihadapinya.
Karena itu seorang sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan, yaitu
:
a.
‘Ainul Yaqin,
yaitu tingkatan
keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga
menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah SWT. sebagai penciptanya.
b.
‘Immul Yaqin, yaitu
tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat
kebesaran Allah SWT. pada alam semesta ini.
c.
‘Haqqul Yaqin,
yaitu tingkatan keyakinan
yang didominasi oleh hati nurani sufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga
ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT.
d.
Maka
kebenaran Allah SWT. langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh
keputusan akal.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh seorang sufi
melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan ma’rifat, di mana
hakikat itu merupakan tujuan awal tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan
akhirnya.
4. Ma’rifat, adalah hadirnya kebenaran Allah SWT. pada seseorang sufi
dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan nur Ilahi. Ma’rifat membuat
ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam
akal pikiran. Barang siapa meningkatkan ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan
hatinya.
Akan
tetapi tidak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu sesorang
yang sudah sampai pada tingkatan ma’rifat ini memiliki tanda-tanda tertentu,
antara lain :
a.
Selalu
memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu
sikapwara’ selalu ada pada dirinya.
b.
Tidak
menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf belumtentu benar.
c.
Tidak
menginginkan nikmat Allah SWT. yang banyak baut dirinya, karena hal itu bisa
membawanya pada hal yang haram.
Dari sinilah
kita dapat melihat bahwa seseorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam
hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan
tingkatan ma’rifat yang dimiliki cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya
karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar